ushul fiqh muamalah
Para pakar ekonomi syariah dan
praktisi perbankan dan keuangan syariah, tidak cukup hanya mengetahui fiqih
muamalah dan aplikasinya saja, tetapi yang lebih penting adalah memahami ushul
fiqih dan maqashid syariah dari setiap produk perbankan dan keuangan syariah.
Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih
menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi
(w.790 H), dalam Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqih
merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena
melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’
(Alquran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkan dalil-dalil syariah itu di
lapangan. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, orang yang tidak
menguasai ilmu ushul fiqih, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk
mengetahui hukum Allah (syariah) kecuali dengan ilmu ushul fiqih.”
Senada dengan itu, Imam Al-Ghazali
mengatakan bahwa ilmu ushul fiqih merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus
dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainnya adalah hadits dan bahasa Arab.
Prof. Dr. Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan bahwa
ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang paling penting yang mesti dimiliki setiap
ulama mujtahid. Ulama ekonomi syariah sesungguhnya (seharusnya) adalah bagian
dari ulama mujtahid, karena ulama ekonom syariah harus berijtihad memecahkan
berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya
berbagai transaksi bisnis modern, halal haramnya bentuk bisnis tertentu,
memberikan solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi
lembaga keuangan syariah. Memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh
masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli syariah
atau dewan syariah, harus menguasai ilmu ushul fiqih secara mendalam karena
ilmu ini diperlukan untuk berijtihad.
Seorang pakar ekonomi syariah yang
menduduki posisi sebagai dosen, guru besar atau Doktor, pejabat tinggi di bank
syariah, dewan pengawas syariah atau pejabat regulator syariah (OJK dan BI) dan
dewan syariah, harus menguasai ilmu ushul fiqih bersama ilmu-ilmu terkait,
seperti qaw’aid fiqih, tarikh tasyri’ fil muamalah, falsafah hukum Islam,
maqashid syariah, tafsir ekonomi, hadits-hadits ekonomi, mushtalahul hadits,
bahkan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Oleh karena penting dan strategisnya
penguasaan ilmu ushul fiqih, maka para ahli ushul fiqih mengatakan, bahwa untuk
menjadi seorang faqih (ahli fiqih), tidak diharuskan membaca seluruh
kitab-kitab fiqih yang begitu melimpah dari semua mazhab secara luas dan
detail, tetapi cukup memiliki kemampuan dan kompetensi ilmu ushul fiqih, yaitu
kemampuan istinbath dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil
melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syariat, baik ijtihad
istinbathy maupun ijtihad tathbiqy, ijtihad intiqa’iy maupun ijtihad insya’iy.
Metodologi istinbath tersebut disebut ushul fiqih. Demikianlah pentingnya ilmu
ushul fiqih bagi seorang ulama dan pakar ekonomi Islam.
Ilmu ushul fiqih memberikan pemahaman
tentang metodologi istinbath (penetapan hukum Islam) para ulama dalam
merumuskan dan memutuskan suatu masalah hukum Islam, karena itu ushul fiqih
adalah metodologi yurisprudensi Islam, yaitu metodologi ilmu hukum Islam yang
menghasilkan produk-produk hukum Islam, menghasilkan fiqih muamalah,
fatwa-fatwa dan regulasi.
Ilmu Ushul fiqih memberikan
dalil-dalil syariah dan argumentasi syariah mengenai suatu kebijakan, produk,
system dan mekanisme perbankan syariah. Ushul fiqih yang berwawasan maqashid
syariah memberikan perspektif filosofis dan pemikiran rasional tentang
akad-akad pada setiap produk perbankan syariah. Ilmu Ushul fiqih adalah ilmu
hukum Islam yang sering disebut juga sebagai The Principle of Islamic
Jurisprudence. Hal ini dikarenakan ushul fiqih bermuatan prinsip-prinsip
yurisprudensi Islam (ilmu hukum Islam). Ushul fiqih berisi teori-teori hukum
Islam, kaidah-kaidah perumusan dan penetapan hukum atau dictum Islam, yang pada
forum workshop eksekutif iqtishad dikhususkan tentang teori hukum tentang
ekonomi keuangan syariah.
Ushul fiqih adalah ibu (induk) dari
semua ilmu syariah, karena itu ushul fiqih adalah induk dari ilmu ekonomi
syariah. Keputusan-keputusan fiqih muamalah keuangan dan seluruh ketentuan
ekonomi Islam di bidang makro dan mikro pastilah menggunakan metodologi ilmu
ushul fiqih. Apabila fikih muamalah dan semua peraturan hukum Islam adalah
produk ijtihad, maka ushul fiqih adalah metodologi berijtihad untuk
menghasilkan produk-produk fiqih, fatwa dan segala bentuk regulasi, karena
itulah, regulator, pembuat peraturan dan Undang-Undang seharusnya memahami
dengan baik ilmu ushul fiqih, karena ushul fiqih adalah metodologi ijtihad
untuk menghasilkan produk fiqih muamalah, fatwa, regulasi dan Undang-Undang.
Ushul fiqih juga adalah disiplin ilmu
syariah yang memberikan landasan dan kerangka epistimologi ilmu ekonomi Islam,
sehingga, kajian epestimologi ekonomi syariah tidak bisa melepaskan diri dari
disiplin ilmu ushul fiqih. Professor Masudul Alam Choudhuriy telah membahas
epistemology ekonomi Islam dengan menjadikan ushul fiqih sebagai acuan,
kerangka dan teorinya sekaligus.
Dalam disiplin ilmu ushul fiqih
pembahasan mengenai dasar-dasar pemikiran dan kaidah-kaidah yang sangat
diperlukan sebagai pijakan dasar dalam membangun sebuah formulasi hukum ekonomi
Islam yang diinginkan dibahas secara holistic, komprehensif dan tuntas. Dengan
perkataan lain ushul fiqih adalah disiplin ilmu yang paling penting sebagai
perangkat metodologis yang paling berkompeten guna menyusun, membentuk dan
memberi corak ekonomi Islam yang diharapkan.
Dalam pengembangan hukum syariah
selama ini, permasalahan krusial yang menghambat upaya pembaharuan dan
reformulasi hukum Islam adalah miskinnya metodologi. Kenyataan itu lebih parah
terjadi di bidang ekonomi syariah saat ini, dimana kajian-kajian akademis
ekonomi syariah masih miskin metodologi syariah, artinya miskin ilmu ushul
fiqih yang mencerahkan, ushul fiqih yang bermuatan maqashid syariah, yang kaya
dengan wawasan historis, rasional dan filosofis, akibat kemiskinan metodologi
itu, maka pandangan-pandangan, pemikiran-pemikiran ekonomi syariah serta
pemahaman para pakar ekonomi syariah selalu kurang tepat, parsial, atomistis
bahkan terkadang dangkal.
Ilmu ushul fiqih sangat langka
diajarkan dalam materi-materi training perbankan syariah dan Lembaga Keuangan
Syariah, bahkan materi bahasannya tidak ditemukan sama sekali. Oleh karena itu
para pakar ekonomi Islam dan SDM bank syariah termasuk regulator syariah sangat
jarang memahami ilmu ushul fiqih. Padahal disiplin ini menduduki posisi utama
dalam ilmu ekonomi syariah, khususnya bagi para pimpinan bank, regulator, dewan
fatwa, terlebih dosen-dosen di Program Pascasarjana Ekonom Islam.
Ilmu ushul fiqih akan meningkatkan
derajat intelektualisme para akademisi dari taqlid (muqallid) kepada muttabi’,
bahkan bagi ulama bisa menjadi mufti dan mujtahid. Para Guru Besar, Doktor dan
dosen Pascasarjana yang memberi kuliah di kampus, para pengawas dan regulator
di OJK, Bank Indonesia atau praktisi yang menjabat posisi penting di perbankan
(direksi, divisi legal, product development, ALCO, auditor, DPS), juga
konsultan, sepatutnya (seharusnya) mengetahui ilmu ushul fiqih di bidang
ekonomi keuangan, agar pengetahuannya di bidang ekonomi syariah komprehensif
dan holistic. Karena ia melandasi pengetahuan fiqih muamalahnya dengan
seperangkat metodologi, alasan-alasan rasional dan filosofis,
argumentasi-argumentasi dan dalil-dalilnya secara syariah serta maqashid
syariahnya. Maqashid syariah menduduki posisi yang paling utama dalam ilmu
ushul fiqih. Tanpa pendekatan maqashid syariah, maka ushul fiqih akan kering
dan menghasilkan keputusan dan ketetapan yang artificial dan kering pula.
Maqashid Syariah
Maqashid syariah adalah jantung dalam
ilmu ushul fiqih, karena itu maqashid syariah menduduki posisi yang sangat
penting dalam merumuskan ekonomi syariah, Maqashid syariah tidak saja
diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal;
public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan
keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga
sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan
syariah.
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa
pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk
menjawab berbagai problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus
berkembang. Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal; public finance), tetapi
juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta
teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan
dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.
Fathi al-Daraini dalam buku Al-Fiqh
al-Islam al-muqarin ma’a al-mazahib mengatakan bahwa pengetahuan tentang
maqashid syariah merupakan pengetahuan yang utama dan memiliki proyeksi masa
depan dalam rangka pengembangan teori ushul fiqih, karena itu maqashid syariah
menurutnya merupakan ilmu yang berdiri sendiri.
Dalam melakukan ijtihad seorang
mujtahid harus menguasai maqashid syariah. ‘Abdul wahhab Khallaf dalam Buku
Ilmu Ushul fiqih menyebut dengan tegas bahwa nash-nash syariah tidak dapat
dipahami secara tepat dn benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid
syariah dan asbabun nuzul (latar belakang historis turunnya ayat). Keberhasilan
penggalian hukum ekonomi Islam dari dalil-dalil Alquran dan hadits sangat
ditentukan oleh pengetahuan tentang maqashid al-syariah yang dapat ditelaah
dari dalil-dalil tafshili (Alquran dan sunnah)
Maqashid syariah tidak saja menjadi
faktor yang paling menentukan dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah
yang dapat berperan ganda (alat sosial kontrol dan rekayasa sosio-econonomy)
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, tetapi juga lebih dari itu, maqashid
syariah dapat memberikan dimensi filosofis dan rasional terhadap produk-produk
hukum ekonomi Islam yang dilahirkan dalam aktivitas ijtihad ekonomi syariah
kontemporer. Maqashid syariah akan memberikan pola pemikiran yang rasional dan
substansial dalam memandang akad-akad dan produk-produk perbankan syariah.
Hanya dengan pendekatan maqashid syariahlah produk perbankan dan keuangan
syariah dapat berkembang dengan baik dan dapat merespon kemajuan bisnis yang
terus berubah dengan cepat.
Tanpa maqashid syariah, maka semua regulasi,
fatwa, produk keuangan dan perbankan, kebijakan fiscal dan moneter, akan
kehilangan substansi syariahnya. Tanpa maqashid syariah, fikih muamalah yang
dikembangkan dan regulasi perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan
kaku dan statis, akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syariah akan sulit
dan lambat berkembang. Tanpa pemahaman ushul fiqih dan maqashid syariah, maka
pengawas dari regulator gampang menyalahkan yang benar ketika mengaudit
bank-bank syariah. Tanpa maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan
gampang menolak produk inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman
maqashid syariah maka regulasi dan ketentuan tentang PSAK syariah akan rancu,
kaku dan mengalami kesalahan fatal. Jiwa maqashid syariah akan mewujudkan fiqih
muamalah yang elastis, fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan
perkembangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan). Penerapan maqashid
syariah akan membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif
menciptakan produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank
konvensional.
Berdasarkan paparan di atas, maka
para pejabat Bank Indonesia yang mengawasi dan mengaudit bank syariah, dan
pejabat OJK yang mengawasi/meregulasi LKS, wajib sekali (mutlak, tidak bisa
ditawar), harus memiliki kompetensi yang standar, Untuk itulah dibutuhkan
sertifikasi ushul fiqih bagi regulator keuangan syariah, dan karena itu pula
mereka wajib mengikuti training dan workshop ushul fiqih tentang perbankan dan
keuangan syariah. Demikian pula halnya bagi auditor eksternal dan internal
perbankan dan lembaga keuangan syariah terlebih bagi para perumus PSAK,
hukumnya semakin wajib. Selama ini belum ada seorang pun auditor dan pengurus
IAI yang mengikuti training ushul fiqih certified, sehingga kompetensi mereka
dalam bidang syariah sebenarnya belum distandardisiasi. Realita ini sangat
berbahaya jika dibiarkan terus menerus.
Sejalan dengan pertumbuhan perbankan
dan keuangan syariah yang semakin cepat, kekurangan ini harus diperbaiki secara
bertahap. Apalagi para pengawas bank syariah dari Bank Indonesia di seluruh
daerah Indonesia, hukumnya wajib memiliki kompetensi ilmu syariah yang
terstandar, yaitu ilmu ushul fiqih perbankan, yang selama ini terabaikan oleh
lembaga otoritas tersebut. Dampak buruk dari mengabaikan pilar penting ini,
adalah terjadinya kekakuan, kesempatan dan bahkan kesalahan dalam pengawasan
dan pengauditan, Banyak sekali (bahkan tidak terhitung jumlahnya), keluhan dan
pengaduan praktisi perbankan syariah tentang kejumudan (kekakuan, dan
kefatalan) yang dilakukan oleh personil pengawas bank dari lembaga regulator
pemerintah tersebut, terutama pengawas di daerah-daerah di seluruh wilayah
Indonesia.
Ushul fiqih di Perguruan Tinggi
Perkembangan Program Pendidikan S1,
S2 dan S3 Ekonomi Syariah di Indonesia makin pesat seiring dengan pertumbuhan
perbankan dan keuangan syariah. Ushul fiqih dan Qawaid fiqh adalah mata kuliah
wajib di program-program tersebut. Namun silabus ushul fiqih dan materi yang
disampaikan, umumnya masih sangat jauh tertinggal dari kebutuhan dan tuntutan
industri perbankan dan keuangan kontemporer. Hampir semua materi mata kuliah
ushul fiqih di Program Pascasarjana (Ekonomi Syariah) di Indonesia belum
memecahkan masalah-masalah dan kasus-kasus finance dan perbankan kontemporer
dalam analisis ushul fiqih dan maqashid syariah. Akibatnya target pengajaran
ilmu ushul fiqih tidak tercapai. Mereka menganggap bahwa ilmu ushul fiqih yang
diajarkan adalah ilmu ushul fiqih di fakultas syariah di UIN, IAIN atau STAIN.
Padahal ilmu ushul fiqih yang diajarkan Program Pascasarjana Ekonomi Syariah
berbeda materinya dengan pengajaran ushul fiqih pada umumnya.
Silabus ushul fiqih yang dikembangkan
di universitas-universitas yang membuka prodi/konsentrasi ekonomi syariah masih
berkutat dengan kasus-kasus beberapa abad silam, bahkan 1 millenium silam,
sangat sedikit tentang kasus-kasus financial dan ekonomi apalagi mengenai
kasus-kasus financial kontemporer, nyaris tidak tersentuh sama sekali. Buku
ushul fiqih lebih banyak diwarnai contoh kasus-kasus ibadah, jinayah, munakahat
dan non ekonomi financial. Kalaupun ada sedikit ekonomi, kasusnya sangat
sederhana. Akibatnya, mata kuliah ushul fiqih yang diajarkan tidak bisa
menjawab dan meresponi isu-isu dan problem keuangan kontemporer, seperti hedging
(swap, forward, options), margin during contruction, profit equalization
reserve (PER), trade finance dan overseas financing puluhan kasus hybrid
contracts, hybrid take over dan refinancing, instrument money market inter
bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi antar bank syariah atau
dengan konvensional, restrukturisasi, pembiayaan property indent, ijarah
maushufash fiz zimmah, hybrid take over dan refinancing, forfeiting, skim KTA,
pembiayaan multi guna, desain kartu kredit, hukum-hukum terkait jaminan
fiducia, hypoteik dan hak tanggungan, serta sejumlah kasus-kasus baru yang
terus bermunculan. Kesenjangan ini pada gilirannya tidak bisa mengantar seorang
akademisi ataupun praktisi kepada pemahaman metodologi istimbath
masalah-masalah ekonomi keuangan kontemporer, yang semakin kompleks.
Kesenjangan antara materi ushul fiqih
yang diajarkan di universitas-universitas dengan kasus-kasus aktual yang hendak
dijawab dan dibutuhkan industri keuangan tidak boleh dibiarkan berlangsung.
Para Guru Besar Ushul fiqih, Guru
Besar Syariah, Fiqih Muamalah, Guru Besar Ekonomi, Guru Besar Hukum, dan Doktor
Ekonomi Islam, Doktor Syariah, Doktor Ekonomi yang peduli (berminat) ilmu
ekonomi syariah, mutlak harus memahami Ushul fiqih Keuangan Islam kontemporer
dengan baik. Untuk itu para pakar syariah tersebut harus memahami ilmu finance
kontemporer, praktik dan perkembangannya.
Semua dosen Ushul fiqih di Perguruan
Tinggi di Indonesia, baik dosen Program Doktor, Dosen Program Magister dan
Strata 1, harus mengikuti forum Workshop Ekselutif Maqashid Syariah pada
Ekonomi, Keuangan dan Perbankan, agar materi pengajaran (kuliah)nya terhadap
mahasiswa menjadi segar, baru, kontekstual, solutif dan mencerahkan, sehingga
bisa melahirkan dosen, DPS, sarjana dan praktisi yang berkualitas.
Pendekatan Maqashid Syariah dalam
Workshop
Kajian ushul fiqih dalam forum
workshop Iqtishad Consulting lebih banyak ditekankan pada ushul fiqih yang
bermuatan maqashid syariah. Maka dalil-dalil yang dibahas umumnya dalil-dalil
yang berdimensi maqashid syariah. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) dalil
syariah, yaitu (Alquran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, maslahah mursalah,
‘Urf, Sa’ad zariah, Istishab, fatwa sahabat dan syar’u man qablana). Pembahasan
dalil-dalil dari kasus-kasus aktual kontemporer dalam training ini, senantiasa
dijiwai oleh maqashid syariah, sebagai pedoman utama dalam perumusan hukum
finansial Islam. Oleh karena itu, kajian maqashid syariah mendapatlan waktu dan
porsi pembahasan luas dalam forum eksekutif ini.
Selain membahas dalil-dalil syariah
dan metode-metode perumusan hukum Islam, Forum Ushul fiqih Perbankan dan
keuangan ini akan membahas secara mendalam praktik maqashid syariah sejak zaman
Nabi yang dilakukan Rasulullah dengan contoh-contoh kasus yang menarik.
Demikian pula maqashid syariah pada zaman sahabat, juga direkonstruksi dengan
kasus-kasus historis yang penting sebagai ibrah (pelajaran) dalam berijtihad
bagi akademisi dan regulator untuk perumusan regulasi, peraturan, fatwa dan
Undang-Undang. Begitu pula maqashid syariah di zaman Imam-Imam mazhab, sampai
ke zaman abad pertengahan di masa Imam Al-Ghazali, Ibnu Taymiyah dan Ibnu
Qayyim, bahkan sampai ke zaman Syah Waliullah ad-Dahlawy. Dengan demikian,
maqashid syariah tidak saja dikaji dari sisi teori dan konsep, melainkan juga
dari segi sejarahnya selama berabad-abad. Pendeknya maqashid syariah akan
dipaparkan dalam forum ini secara komprehensif dan tuntas, agar bisa menjadi
cermin dan pedoman bagi ilmuwan, cendikiawan, ulama dan regulator dalam membuat
regulasi, mengawasi, mengaudit dan menciptakan produk perbankan dan keuangan.
Selama ini banyak kajian maqashid syariah dilakukan secara dangkal yang hanya
berupa kulit-kulit luar saja, sehingga belum banyak pengaruhnya menjiwai
perumusan regulasi, penciptaan produk dan malah menciptakan kekakuan dalam
pengembangan produk perbankan dan keuangan syariah.
Untuk lebih mengkomprehensifkan
materi forum training eksekutif ini, kajiannya juga menggunakan ilmu qawaid
fiqh dan tarikh tasyrik fil-muamalat serta didukung ilmu tafsir, ulumul quran
dan hadits (mushtalahul hadits). Pendekatan yang holistic ini akan menunjukkan
secara nyata bahwa ekonomi syariah adalah ilmu yang multi disiplin yang bisa
dipertanggungjawabkan secara akademis. Dan yang lebih penting lagi, pendekatan
yang holistic ini akan menghasilkan produk regulasi, aturan dan produk
perbankan dan keuangan yang benar-benar sesuai dengan maqashid syariah.
Dalam konteks keindonesiaan kita juga
perlu memahami metode penetapan fatwa MUI di Indonesia, yakni bagaimana manhaj
dan metode ijtihad yang dilakukan MUI dalam menetapkan fatwa-fatwa ekonomi
syarah. Ini penting, agar para akademisi dan praktisi memahami metodologi
syariah dalam penetapan suatu hukum ekonomi Islam, sehingga akademisi dan
praktisi mengetahui bahwa penetapan fatwa tidak dilakukan sembarangan,
melainkan dengan metodologi ushul fiqih yang sophisticateddan sangat ekstra
hati-hati.
Urgensi penggalian illat
Konsep illat menjadi bagian penting
dalam pembahasan maqashid syariah. Illat merupakan penyebab suatu ketentuan
hokum, atau alasan rasional suatu ketentuan hokum syariah. Misalnya illat
keharaman riba fadhl pada emas adalah muthlaq ats-tsamaniyah.
Ilmu ushul fiqih yang bermuatan
maqashid syariah akan memberikan pemikiran rasional dan filosofis tentang
ketentuan ketentuan fiqh muamalah, misalnya mengapa gharar itu dilarang, dan
apa illat dari setiap larangan gharar? Mengapa bay’ kali bi kali dilarang? Apa
illatnya? Mengapa riba fadhal dilarang? Apa illatnya? Kajian illat dan falsafah
tasyri’ tentang riba fadhal ini akan menghasilkan argumentasi rasional mengapa
penangguhan jual beli emas, perak, dollar, rupiah dilarang? Tetapi mengapa
tahawwuth/hedging untuk maslahah dibolehkan? Mengapa pertukaran dinar dengan
rupiah harus cash, sedangkan jual beli emas batangan/perhiasan secara cicilan
dibolehkan. Dalam kasus yang lain, mengapa talaqqi rukban dilarang? Apa
illatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu, menjadi wilayah kajian ilmu ushul fiqih.
Ketika illat ditemukan, maka akan berlaku kaidah Al-hukm yaduru ma’al illati
wujudan wa’adaman. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu kan ditemukan di
forum workshop eksekutif maqashid syariah dalam ekonomi, keuangan dan perbankan
syariah.
Terus yang penting lagi adalah,
apaillat larangan transkasi dua akad dalam satu transaksi? Mengapa akad two in
one itu dilarang dan mengapa hybrid kontrak dibolehkan? Bentuk akad two in one
bagaimana yang dilarang. Jawabannya harus dijelaskan secara rasional dan
filosofis dalam koridor ilmu ushul fiqih. Urgensi mengetahui illat ini menjadi
keharusan, mengingat telah terjadi kesasahan fatal, yaitu mengeneralisasi
secara salah bahwa setiap two in one (dua akad dalam 1 transaksisi) dilarang,
padahal hanya ada dua bentuk saja dari akad two in one yang dilarang. Ratusan
bentuk lainnya dihalalkan. Kesalahan fatal ini karena kajian fikih muamalahnya
tanpa didasari ilmu ushul fiqih tentang illat dan maqasid syariah serta kajian
ilmu hadits yang mendalam.
Satu lagi yang cukup penting adalah
tentang akad ta’alluq, Ada banyak pandangan yang mengenerasisasi semua ta’alluq
itu dilarang, semua jual beli bersyarat itu dilarang, tanpa mengkaji dan
memahami mengapa ta’alluq itu dilarang, apa illatnya, bentuk ta’alluq yang
bagaimana yang dilarang dan bentuk ta’alluq bagaimana yang dibolehkan? Mengapa
jual beli bersyarat itu dilarang,apa illatnya? Semua pengetahuan ini sangat
berguna menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yaitu akan memberikan
pemahaman apa dan bagaimana bentuk akad ta’alluq yang dilarang dan mana pula
yang dibolehkan, begitu pula jual beli bersyarat, mana jual beli yang dilarang
dan mana pula yang dibolehkan. Semua analisisnya harus didasarkan pada kajian
illat dalam metodologi ushul fiqih selain analisis ilmu mushtalahul hadits.
Contoh lainnya yang juga menarik
adalah akad sewa beli (lease and purchase), apakah akad ini bisa disebut
sebagai gharar? Apa yang gharar dalam akad ini? Ketidakjelasan akadnya sewa
atau beli, atau dianggap tidak jelas pemindahahan kepemilikan? Di sinilah
diperlukan kajian illat dan maqashid syariah, sebuah kajian falsafah syariah
mengapa gharar itu dilarang, apakah illatnya terdapat pada akad sewa beli itu?
Secara praktis, sebenarnya akad sewa
beli tidak gharar, karena akadnya sudah jelas sekali. Dr. Usman Tsabir sudah
membahas kontrak ini dalam buku Fiqih Muamalah Maliyah Mu’ashirah, secara
tuntas (Kuwait, 2006). Begitu sewa berakhir, maka secara otomatis dan demi
hukum asset menjadi milik nasabah, tanpa perlu akad baru lagi, karena janji
hibah yang diaktekan ada saat akad sudah terwujud secara otomatis setelah
berakhirnya periode sewa. Kejelasan akad sewa beli ini, tidak akan memancing
dispute atau rawan perselisihan, karena itu hukumnya boleh. Jual beli gharar yang
illatnya sudah hilang, hukumnya boleh, sesuai dengan kaidah al-hukm yaduru
ma’al illat wujudan wa ‘adaman.
Dalam kasus ini gharar itu dilarang
karena akan sangat rawan menimbulkan perselisihan para pihak, sedangkan dalam
akad sewa beli semuanya sudah jelas, sama jelasnya dengan kontrak jual beli.
Karena akad yang jelas itu maka peluang perselisihan akibat akad hybrid
sebenarnya tidak ada. Kalaupun peluang dispute ada, tapi porsinya sedikit
sekali dan kecil sekali, bahkan disputenya bukan karena ghararnya, melainkan
karena moral hazard di antara kedua pihak, misalnya dengan sengaja menunda
pembayaran cicilan. Kecilnya peluang perselisihan sewa sama saja dengan
kecilnya peluang jual beli murabah cicilan, sebab setiap akad pasti selalu ada
kemungkinan terjadinya perselisihan, tapi sekali lagi bukan karena
ketidakjelasan akadnya, melainkan karena morald hazard terutama dari nasabah
yang mencicil.
Mari kita gunakan logika yang salim,
kalau ada akad lease and purchase tanpa hunga, dengan ketentuan akad yang jelas,
maka hukumnya boleh, karena tidak gharar. Dengan demikian tidak semua gharar
itu dilarang. Hanya gharar yang besar (gharar katsir) saja yang dilarang, yaitu
yang peluang mendatangkan perselisihan saja yang dilarang syariah, sedangkan
gharar yang sedikit tidak dilarang. Oleh karena itulah ulama membagi gharar
kepada 3 macam, gharar katsir, gharar mutawassith dan gharar qalil.
Kemahiran menemukan illat, maslalah
dan maqasahid dari suatu akad dan transaksi sangat diperlukan, mengingat
kasus-kasus baru terus bermunculan, seperti pembiayaan KPR syariah secara
indent, MDC (Margin During Construction), tawarruq munazzam, dan sebagainya.
Ilmu ushul fiqih akan merekonstruksi illat dari larangan jual beli indent (KPR
Property Syariah), bentuk pembiayaan KPR indent bagaimana yang dilarang?
Mengapa dalam jual beli salam, uangnya harus cash? sehingga jual beli kali
bikali (al-bay’ bi ajli badalain) dilarang? dan bentuk kali bikali bagaimana
yang dilarang, dan mengapa dilarang? Apa perbedaan illat antara KPRS Indent (yang
menggunakan akad MMq) dengan jualbeli kali bi kali yang dilarang Nabi Muhammad
saw? Atau dengan perkataan lain, apakah boleh cicilan pada salam fil manafi’
untuk pembiayaan KPRS Indent dengan musyarakah mutanaqishah? Kalau dilarang apa
illatnya? Apakah illatnya sudah berubah dan berbeda dengan illat kali bi kali?
Kalau illatnya sama maka KPRS indent dengan MMq tentu tidak dibolehkan, tetapi
jika illatnya berbeda,maka KPRS Indent dengan MMq dibolehkan.Disinilah
diperlukan kecerdasan dan kepiawaian dalam menemukan illat suatu kasus keuangan
syariah.
Untuk Menemukan Illat dibutuhkan
disiplin ilmu lain
Upaya menemukan illat sering kali
membutuhkan pengetahuan disiplin ilmu lain yang terkait, misalnya ilmu ekonomi
makro. Mungkin secara fiqh muamalah formal, suatu kasus dibolehkan, tetapi
setelah mengkaji maslahat dan mufdharatnya dari perspektif ilmu ekonomi makro,
sesuatu kasus situ bisa dilarang. Karena itu kita jangan terjebak kepada
kerangkengfiqh muamalah,tapi temukanlah illat, temukan maslahah dan mudharat
dalam sinaran maqashid syariah.
Mungkin saja seseorang ahli dalam
ushul fiqih, tapi tidak menggunakan pisau analisis ilmu ekonomi makro, sehingga
tidak bisa menemukan illat dengan tepat di bidang ekonomi, Misalnya ada seorang
pakar di luar negeri yang membolehkan transaksi bursa komodity berjangka karena
mengqiyaskannya dengan bay’ salam, secara formal (fiqih) memang kelihatnnya
mirip. Namun secara illat dan maqashid, terdapat unsur derivatif ribawi di
dalamnya, sehingga transkasi itu menjadi terlarang.
Contoh lain yang cukup sederhana
antara lain tentang illat larangan riba, dikatakan illatnya zhulm. Kesalahan
menemukan illat riba, akan menimbulkan kesalahan fatal berikutnya, misalnya
menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2-3 persen setahun adalah
tidak riba dibanding margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10-12 persen
setahun. Di sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro Islami, seperti
teori inflasi, teori bubble dan krisis, hubungannya dengan produksi,
employment, dan sebagainya.
Pakar ekonomi Islam dan hukum ekonomi
Islam harus bisa menemukan illatnya secara tepat dan akurat. Pengetahuan
tentang illat ini begitu urgen, karena dengan mengetahui illat, maka ketentuan
fiqih muamalah akan selalu bermuatan maslahah dan maqashid syariah sehingga
syariah akan selalu aktual, segar dan relevan dengan perubahan-perubahan bisnis
dan tuntutan-kemajuan-zaman.
Dalam ilmu ushul fiqih kajian tentang
illat dibahas dalam sub bahasan masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul
manath, kemudian tanqihul manath dan terakhir tahqiqul manath.
Selanjutnya dalam kajian illat dan
maslahah, seorang ahli ushul fiqih harus bisa menentukan qiyas jaliy dan qiyas
khafi dalam banyak kasus ekonomi keuangan, Tanpa pengetahuan tentang qiyas
jaliy dan qiyas khafiy, maka akan mengakibatkan pandangan yang keliru dalam
memahami suatu konsep fiqih muamalah, seperti menggenerasilasi semua tawarruq
dilarang. Padahal harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya dengan
tawarruq yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertanian dan UMKM,
maka penyalurannya juga pasti menganalisa risiko dan kalkulasi bisnis pertanian
itu. Harus juga dibedakan tawarruq fiqhiy yang dimakruhkan Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Qayyim, dengan tawarruq fiqhiy yang nyata-nyata dananya untuk sektor riil.
Dengan demikian, pakar keuangan syariah, akademisi dan praktisi harus bisa
memahami konsep Istihsan dengan baik, agar pemahaman keuangan syariahnya utuh
dan komprehensif.
Pengetahuan pisau analisis qiyas
jaliy ke qiyas khafiy, akan menolong seorang pakar untuk membedakan musyarakah
mutanaqishah untuk KPRS indent dengan Ijarah Maushufah fiz Zimmah (IMFZ) dengan
bay kali bi kali (al-bay’ bi ajli badalain). Kalau seorang ahli fiqih tidak
bisa membedakannya, maka MMq indent dianggap tidak sah, karena IMFZ sesungguhnya
adalah bay’ salam, sedangkan bay’ salam harus duluan semua uangnya. Di sinilah
perlu analisis dan kajian komprehensif tentang perbedaan IMFZ dengan bay kali
bi kali, Setidaknya terdapat 4 hal yg membedakanantara keduanya dan para ulama
dunia membolehkannya asalkan akadnya tidak menggunakan redaksi salam.
Di sisi lain, pembiayaan KPRS indent
dengan IMFZ harus dikaji dan dianalisis dengan bantuan ilmu ekonomi makro,
sebab mungkin saja secara teori hukum Islam lolos, namun dari aspek kajian yang
lebih luas, (ilmu ekonomi makro), transaksi itu menimbulkan resiko kemudhratan,
misalnya membuka spekulasi property, menciptakan gelembung-gelembung harga,
yang berisiko tunggi bagi bank yang memberikan pembiayaan, dan sebagainya. Nah,
kalau ada problem mudarat seperti itu, maka pembiayaan property indent dengan
IMFZ pada MMq, seharusnya dilarang, sebagaimana yang secara cerdas telah diatur
oleh Bank Indonesia, sebelum berpindah ke OJK.
Kajian-kajian maqashid syariah yang
bermuatan analisis illat, alasan-alasan rasional dan filosofis akan mewarnai
semua kajian akad-akad, produk, mekanisme, sistem dan regulasi keuangan dan
perbankan syariah
Kalangan masyarakat awam, mungkin
tidak begitu perlu memahami ilmu ushul fiqih keuangan, tetapi, seorang pejabat
bank/LKS, direksi, DPS, terlebih regulator (OJK) dan BI, Dosen Ekonomi Syariah,
auditor, hakim, wajib memahami ilmu ushul fiqih dan maqashid syariah. Demikian
pula General Manager Bank Syariah, Pimpinan Divisi, Head Group, Branch Manager,
(kepala cabang), semua dosen prodi ekonomi Islam, konsultan, notaris syariah
perlu memahami ilmu ushul fiqih ini. Untuk itulah, Iqtishad terus-menerus
menggelar Training dan Workshop Ushul fiqih fil Muamalah Maliyah Mua’shirah,
yaitu ushul fiqih tentang keuangan kontemporer bagi Dosen Pascasarjana Ekonomi
Islam, Dosen Prodi Ekonomi Islam, DPS, Komisaris Bank/LKS, Direktur Bank
Syariah/LKS, Dewan Pengawas Syariah, Regulator (OJK), Lawyer, Hakim, Auditor,
akuntan public, notaries, dan konsultan, bahkan untuk para Guru Besar
(Professor dan Doktor-doktor ekonomi Islam, Doktor Syariah dan Doktor Ekonomi
yang berminat mendalami ekonomi Islam.
Komentar
Posting Komentar