ETIKA BISNIS DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN DAN SUNNAH

ETIKA BISNIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM :
EKSPLORASI PRINSIP ETIS AL QUR’AN DAN SUNNAH
 
Abstract:: Business is something that is very important in human life. No
wonder Islam is rooted in the Qur'an and Sunnah provide guidance in the field
of business. Business for many years, was suggested as a business for profit as
much as possible, even to go to the dirty tricks and unethical. Business ethics is
very important to put forward in the era of globalization often ignore the moral
values and ethics. Thus, Islam emphasizes that the business activities of human
beings are not merely intended as a way to satisfy the desire, but rather on
finding a balanced life with a positive attitude rather than destructive. This
paper aims to examine business ethics from the perspective of the Qur'an in an
effort to build an Islamic business to business challenges in the future.
Business in the conclusion of the Qur'an called activities as well as materials. A
viable business, if they meet the material and spiritual needs in a balanced,
contains no falsehood, destruction and injustice. But it contains the value of
unity, equilibrium, free will, accountability, truth, virtue and honesty

Kata Kunci: Ehtics, Business, Islamic Business
 


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari
era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi.
 Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya
mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai
persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang
cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme. 

Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara muslim tersebut,
kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian membangkitkan keinginan
untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi
sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama
Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of
Nations. Di samping itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah
menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan
tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan.
Dalam pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah
begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut mendapatkan
legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta dari sebuah usaha
secara maksimal
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis
yang benar dan praktik bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada
dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip
dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan
kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian
baru yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.

Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam
hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktik bisnis mereka.
Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam
upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi baik
kapitalisme maupun sosialisme, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan
(bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang harus dilakukan. 
Salah  satu  keunikan  ajaran  Islam  adalah  mengajarkan  para  penganutnya  untuk
melakukan praktik ekonomi berdasarkan norma-norma dan etika Islam.

 Bahkan diakui oleh para ekonom muslim  maupun  non-muslim,  dalam  Islam  diajarkan  nilai-nilai  dasar ekonomi  yang bersumber  kepada  ajaran  tauhid. Sudah  menjadi  kodrat  manusia  untuk
diciptakan  sebagai makhluk bergelut di bidang ekonomi, baik secara personal maupun
kolektif, dalam memenuhi kebutuhan  hidup,  yang  pada  satu  sisi  tidak  terbatas  dan  pada
sisi    lain  dihadapkan  pada sumber-sumber  terbatas.  

Sebagai  bagian  integral  aktifitas  manusia,  kegiatan  ekonomi  tak dapat  dielakkan
untuk  memenuhi  kebutuhan  hidup  dan  dalam  rangka  menjalankan tanggungjawab
manusia  sebagai  pihak  yang  berpartisipasi  aktif  dalam  peningkatan  taraf hidup  manusia
secara  individu,  kolektif  atau  universal.  Keterlibatan  manusia  dalam  aktifitas bisnis  tidak
semata  karena  faktor  pemenuhan  kebutuhan  fisik,  tapi  pembinaan  komunikasi positif,
prilaku  saling  menguntungkan, realisasi keadilan, dan prilaku tidak  saling  merugikan
merupakan  sebagian  dari  sekian  banyak  faktor  krusial  bagi  terciptanya  tatanan
kehidupan manusia. 

Betapapun peredaran perekonomian  lancar dengan  laju ekonomi tinggi dan tingkat
inflasi  rendah,  namun  jika  tidak  diimbangi  dengan  nilai-nilai  luhur  itu,  maka  pada  titik
tertentu akan tercipta kondisi yang membawa malapetaka baik langsung atau jangka panjang.
Karena itu, Islam menekankan agar aktifitas bisnis manusia  dimaksudkan tidak semata-mata
sebagai  alat  pemuas  keinginan  (al-syahwat),  tetapi  lebih  pada  upaya pencarian
kehidupan berkeseimbangan  dunia-akhirat  disertai  prilaku  positif  bukan  destruktif.

Sementara  itu  pada sisi yang lain perkembangan  dunia  bisnis  dan  ekonomi telah berjalan
cepat dalam dunianya sendiri,  yang  seringkali  berjauhan  dengan  nilai-nilai  moralitas  dan
agama. Sehingga  dalam pelaksanaannya dipenuhi oleh praktik- praktik mal-bisnis. Oleh
karena itu diperlukan adanya etika  dalam  berbisnis.  Yang  dimaksud  praktik  mal-bisnis
dalam  pengertian  ini  adalah mencakup semua perbuatan bisnis yang tidak baik, jelek,
membawa akibat kerugian, maupun melanggar  hukum.
 Padahal al-Qur’an  sebagai  sumber
nilai,  telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenali perilaku-perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an  khususnya dalam  bidang  bisnis.   
Pada  mulanya etika  bisnis muncul ketika  kegiatan  bisnis tidak  luput  dari  sorotan
etika.  Menipu  dalam  bisnis,  mengurangi timbangan atau takaran, merupakan contoh-
contoh konkrit adanya hubungan antara etika dan bisnis. Dari fenomena-fenomena itulah etika
bisnis mendapat perhatian yang intensif hingga  menjadi  bidang  kajian  ilmiah yang berdiri
sendiri.
 Menurut sementara pihak,  problem  etika  bisnis  terletak  pada  kesangsian  apakah
moralitas  mempunyai  tempat dalam  kegiatan  bisnis.
  Bagi  kalangan  ini  bisnis  adalah
kegiatan  manusia yang  bertujuan  mencari  laba  semata-mata.  Bisnis  telah  ada  dalam
sistem dan  struktur  dunianya  yang baku untuk mencari pemenuhan  hidup. Sementara,  etika
merupakan  disiplin ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa  yang  benar  atau
salah, yang baik atau buruk, sehingga dianggap tidak seiring dengan sistem dan struktur
bisnis.
 Kesangsian-kesangsian inilah yang melahirkan mitos bisnis amoral.


B. PEMBAHASAN

Islam bukan hanya sebuah agama yang dianut oleh manusia, tetapi Islam juga
merupakan pedoman hidup bagi para penganutnya, di mana setiap aspek dalam kehidupan
manusia telah diatur menurut hukum Islam. Salah satunya adalah aspek dalam etika bisnis
yang telah diatur dalam Islam. Islam mengatur bahwa etika berbisnis yang benar tidak bisa
dipisahkan dengan hal-hal penting lainnya. Filosofi Islam mengajarkan tentang etika dalam
berbisnis selain beberapa konsep bisnis penting lainnya. Inti dari etika bisnis Islam
menggunakan konsep Tauhid (singularitas, monoteisme).

1. Etika dan Bisnis Dalam Islam

a. Definisi Etika

Secara etimologi, etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos
 mempunyai
beragam arti : pertama, sebagai analisis konsep-konsep terhadap apa yang harus, mesti, tugas,
aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke
dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi kehidupan yang baik
secara moral. Etika merupakan filsafat tentang moral. Jadi sasaran etika adalah moralitas.
Moralitas adalah istilah yang dipakai untuk mencakup praktek dan kegiatan yang
membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, aturan-aturan yang mengendalikan kegiatan
itu dan nilai yang tersimpul didalamnya, yang dipelihara atau dijadikan sasaran oleh kegiatan
dan praktik tersebut.

 Menurut Robert C. Solomon, moral tidak diartikan sebagai aturanaturan
dan ketaatan, tetapi lebih menunjuk kepada bentuk karakter atau sifat-sifat individu
seperti kebajikan, kasih sayang, kemurahan hati dan sebagainya, yang semuanya itu tidak
terdapat dalam hukum.

Menurut K. Bertens dalam buku Etika

, merumuskan pengertian etika kepada tiga
pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik.
Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk. Menurut Ahmad Amin
 memberikan
batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.
Dalam ajaran Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika dalam
Al-Quran adalah Khuluq.  Al-Asfahani dalam mengartikan Khuluq pada firman Allah
  كنا
 ميظع قلخ يلعل18  dengan :  ةليضفلا نم ناسنلاا بستكا     هقلخب  ام  yang artinya ; apa yang
diusahakan manusia untuk mencapai kemuliaan sesuai dengan penciptaannya.
Dalam kamus al-Munawwir, khuluq berarti ; tabi’at, budi pekerti, kebiasaan ,
kesatriaan dan keperwiraan, agama

 Kata khuluq dari kholuqo sangat dengan khalq dari
kholaqo yang berarti ; menjadikan, menciptakan. Dari kata kholaqo – yakhluqu keluar kata
khaliq ; sang pencipta, dan makhluk ; yang diciptakan. Dan dari kata kholuqo – yakhluqu
keluar istilah al-akhlaq yang kemudian sudah menjadi sebuah ilmu tersendiri.

Sangat menarik bila dicermati, kedekatan kholaqo yang berarti mencipta dan kholuqo
yang berarti berperangai, ternyata perangai atau kebiasaan (akhlak) tidak akan terbentuk
kecuali ada kehendak dan i’tikad manusia dalam menciptakan perbuatannya. Al-Quran juga
menggunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan: khair
(kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), ‘adl (kesetaraan dan keadilan), haqq
(kebenaran dan kebaikan), ma’ruf (mengetahui dan menyetujui) dan taqwa (ketakwaan).
Tindakan yang terpuji disebut sebagai salihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai
Dalam khazanah pemikiran Islam, etika dipahami sebagai Al-Akhlaq atau Al-Adab
yang bertujuan untuk mendidik moralitas manusia. Etika terdapat dalam materi-materi
kandungan ayat-ayat Al-Quran yang sangat luas, dan dikembangkan dalam pengaruh filsafat
Yunani hingga para sufi.

b. Definisi Bisnis

Kata bisnis dalam Al-Qur’an biasanya yang digunakan al-tijarah, al-bai’, tadayantum,
dan isytara
. Tetapi yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab
tijaraha, berawal dari kata dasar tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau
berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan
 (menurut kamus almunawwir).
Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an, atTijarah
·         bermakna
·         pengelolaan
·         harta
·         benda
·         untuk mencari
·         keuntungan.
Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib, fulanun tajirun bi kadza
, berarti
seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam
usahanya. Dalam penggunaannya kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam
pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat Al-Baqarah ; 282.
Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum. 
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa term bisnis dalam Al-Qur’an dari tijarah pada
hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari keuntungan
material semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial, bahkan lebih meliputi dan
mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan kualitas. Aktivitas bisnis tidak hanya
dilakukan semata manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah SWT, bahwa
bisnis harus dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi dan
  perjanjian-perjanjian dan bisnis tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan, kebohongan,
hanya karena memperoleh keuntungan. Dalam hal ini, ada dua definisi tentang pengertian
perdagangan, dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu menurut mufassir dan ilmu fikih :
1) Menurut Mufassir, Bisnis adalah pengelolaan modal untuk mendapatkan   keuntungan ;
2) Menurut Tinjauan Ahli Fikih, Bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta secara
suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian.
Menurut cara yang dibolehkan penjelasan dari pengertian di atas : 
a) Perdagangan adalah satu bagian muamalat yang berbentuk transaksi antara   seorang
dengan orang lain.
b) Transaksi perdagangan itu dilaksanakan dalam bentuk jual beli yang diwujudkan dalam
bentuk ijab dan qabul.
c) Perdagangan yang dilaksanakan bertujuan atau dengan motif untuk mencari keuntungan.

c. Definisi Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam

Etika sebagai perangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa
yang salah, sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku
bisnis, maka etika diperlukan dalam bisnis. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, etika
bisnis adalah norma-norma atau kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik sebagai institusi atau
organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan “stakeholders”nya. Etika dan tindak
tanduk etisnya menjadi bagian budaya perusahaan dan “built-in” sebagai perilaku (behavior)
dalam diri karyawan biasa sampai CEO. bahkan pengusaha sekalipun yang standarnya tidak
uniform atau universal. Tapi lazimnya harus ada standar minimal. Ketidak universalan itu
mencuatkan berbagai perspektif suatu bangsa dalam menjiwai, mengoperasikan dan setiap
kali menggugat diri.

Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman
kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas
dan usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan
menyediakan kerangka prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan
istilah baik dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas
implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis
secara umum dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan
beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan
dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.
Dengan demikian, bisnis dalam Islam memposisikan pengertian bisnis yang pada
hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan Allah SWT. Bisnis tidak
bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi
matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab
pribadi dan sosial dihadapan masyarakat, negara dan Allah SWT.

2. Dasar Hukum
 Dalam al Qur’an surah al Baqarah ayat 282 Allah SWT berfirman yang artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang
itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
 mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

 Dalam surah  An Nisa ayat 29, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh
orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat
merupakan suatu kesatuan”
Dalam surah As Shaff ayat 10, yang artinya :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?

3. Tujuan Umum Etika Bisnis Islam
Dalam hal ini, etika bisnis Islam adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan
sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika
bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal
sebagai berikut :
a. Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode
berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar
melindungi pelaku bisnis dari risiko.
b. Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis,
terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas
segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
c. Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan
yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
d. Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi
antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja. Sebuah hal yang dapat
membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.

  4. Prinsip-prinsip Etika Bisnis Dalam Al-Qur’an

Menurut Imaddudin (2007 : 156), ada lima dasar prinsip dalam etika Islam, yaitu  :
kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas (free will), taggung jawab
(responsibility), kebenaran, kebajikan, dan kejujuran (truth, goodness, honesty).

a. Kesatuan (Tauhid/Unity)

Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi
dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka Islam menawarkan keterpaduan
agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula
maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu
persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.

b. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)

Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat
curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. 
Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau
menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda
kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. AlQur’an

memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan
cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan
takaran dan timbangan.
Dalam surah al Isra ayat 35 Allah SWT berfirman yang artinya : “Dan sempurnakanlah
takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak
terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surah Al-Maidah ayat 8 yang artinya :

  “Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”. 

c. Kehendak Bebas (Free Will)

Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya
batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja
dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus
memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban
setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.

d. Tanggungjawab (Responsibility)

Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis
prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa
yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.

 e. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran (truth, goodness, honesty)

Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis
kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad
(transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam
proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka
etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya
kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam
bisnis.

5. Panduan Rasulullah Dalam Etika Bisnis

 Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di
antaranya ialah (a) prinsip kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat paling
mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam
aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda:“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual
satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa
yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu
bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di
sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.

 Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam,
tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan
Bapak Ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun
(menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan
mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang
lain dengan menjual barang; (b) Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw
sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan
transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan
sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis
riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang
bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari
kiamat (H.R. Muslim). Praktik sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan,
karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau
pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah,
tetapi hasilnya tidak berkah.

 Selain sikap tersebut di atas, Rasulullah Saw mengajarkan agar bersikap; (c) ramahtamah.
Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi
Muhammad SAW  mengatakan, “Allah merahmati  seseorang yang ramah dan toleran
dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi); (d) Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain,
agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di
antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain
(H.R. Muttafaq ‘alaih); (e) Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan
menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik
dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu;
(f) Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda,
Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini
mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus
sesuai dengan kerja yang dilakukan; (g) tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem
ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah
eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah
dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk
keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam
Islam; (h)tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat
merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis
senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti
anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras.
Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial
yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat. Komoditi bisnis yang dijual adalah
barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras,
ekstasi, dan sebagainya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah
mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).

 Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil,
kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4:
29); (i) Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah Saw memuji seorang
muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw,
Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim);
(j) memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda
Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau
membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang
tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim); (k) bahwa bisnis yang dilaksanakan
bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa
riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai
orang yang kesetanan (QS. 2: 275).

6. Upaya Mewujudkan  Etika  Bisnis  untuk Membangun  Bisnis  yang  Islami  untuk
Menghadapi Tantangan Bisnis di masa Depan

Dalam upaya mewujudkan  etika  bisnis  untuk  membangun  bisnis  yang  islami  yang
harus  dilakukan  adalah  pertama,  suatu rekonstruksi  kesadaran baru  tentang  bisnis.
Pandangan bahwa etika bisnis sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakan
struktur  fundamental  sebagai  perubahan terhadap anggapan dan  pemahaman  tentang
kesadaran sistem bisnis amoral yang telah memasyarakat. 

Bisnis dalam al-Qur’an disebut sebagai aktivitas yang bersifat material  sekaligus
immaterial. Sehingga suatu bisnis dapat disebut  bernilai,  apabila  kedua  tujuannya  yaitu
pemenuhan  kebutuhan  material  dan spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan
pandangan      kesatuan    bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika suatu  bisnis
bernilai, apabila memenuhi kebutuhan  material  dan  spiritual  secara  seimbang,  tidak
mengandung  kebatilan, kerusakan  dan  kezaliman.  Akan  tetapi  mengandung  nilai
kesatuan, keseimbangan, kehendak  bebas,  pertanggung-jawaban,  kebenaran,  kebajikan  dan
kejujuran. Dengan demikian etika bisnis dapat dilaksanakan oleh siapapun. Kedua, yang patut
dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun tatanan bisnis
yang Islami yaitu  diperlukan  suatu cara  pandang baru  dalam  melakukan kajian-kajian
keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih berpijak pada  paradigma  pendekatan
normatif etik sekaligus empirik induktif yang mengedepankan penggalian dan pengembangan
nilai-nilai al-Qur’an, agar dapat mengatasi  perubahan dan pergeseran zaman yang semakin
cepat, atau  dalam kategori  pengembangan  ilmu  pengetahuan  modern harus dikembangkan
dalam pola pikir abductive pluralistic

C. Kesimpulan
Upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun tatanan bisnis yang Islami yaitu 
suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Bisnis baik sebagai aktivitas yang dilakukan
oleh  individual, organisasi atau perusahaan, bukan semata-mata bersifat duniawi  semata.
Akan  tetapi sebagai  aktivitas  yang  bersifat  material sekaligus immaterial. Suatu  bisnis
bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak
mengandung kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Akan tetapi mengandung  nilai  kesatuan,
keseimbangan,  kehendak  bebas,  pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan kejujuran.
Sehingga dengan ketiga prinsip landasan praktik mal bisnis diatas, dapat dijadikan tolok ukur
apakah suatu bisnis termasuk ke dalam wilayah yang bertentangan dengan etika bisnis atau
tidak.  Diperlukan suatu cara pandang baru dalam melakukan kajian-kajian keilmuan tentang
bisnis  dan  ekonomi yang  lebih  berpijak  pada  paradigma  pendekatan  normatif-etik
sekaligus empirik induktif  yang mengedepankan  penggalian dan pengembangan nilai-nilai
al-Qur’an, agar dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat.


DAFTAR PUSTAKA

Abu-l-Qasim al-Husein Al-Asfahani, Mufradat  Fi Ghari bil-Qur’an  Juz I, dalam al-
Maktabah al-Shamilah
Maxime Rodinson, Islam dan Kapitalisme, terj. Asep Hikmat, Bandung: Iqra’, 1982.
Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1982
Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam,J akarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Al-Asfahani, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfad al-Qur’an,Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Amin, Ahmad, Etika: Ilmu Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Beekun,  Rafiq  Issa,  Islamic  Business  Ethict.  Virginia:  International  Institute  of Islamic
Thought, 1997.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1985.
Gahral Adian, Donny, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Bandung: Teraju, 2002.
George, Ricard T, Business Ethics, New Jersey: Prentice Hall, Engle- wood Cliffs, 1986.
O.P. Simorangkir, Etika Bisnis. Jakarta: Aksara Persada, 1992.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta: IIIT Indonesia,
2002.
Karim, M. Rusli, Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1992.
Keraf, A.Sonny, Etika Bisnis, Jakarta:Kanisius, 1998.
K. Barten, Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.


                                    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bintang untuk sahabat

SUNYI DALAM HENINGNYA MALAM

Dosen tercinta